Senin, 19 Oktober 2015

       Suku Minangkabau merupakan suku yang suka merantau. Barangkali hal ini berasal dari karakteristik nenek moyang mereka yang suka merantau. Banyak pendapat berkenaan dengan nenek moyang suku Minangkabau. Beberapa buku yang saya baca menyebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah bangsa Deutro Melayu dari daratan Indo China. Salah satu karakteristik lain dari suku Minangkabau adalah adat yang dipegang dengan kuat. Adat istiadat mereka dipertahankan melalui tambo, yang merupakan cerita tentang nenek moyang mereka dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi.

Salah satu karakteristik budaya yang unik dari suku Minangkabau adalah budaya matrilineal, di mana peran perempuan lebih dominan dari laki-laki. Alur keturunan didapatkan dari jalur ibu. Hal ini tentu berbeda dengan nilai-nilai Islam yang lebih banyak menganut paham patrilineal. Pada mulanya, saya bingung memikirkan bagaimana kedua nilai-nilai yang terkesan bertentangan ini dapat dipersatukan ? Hasil membaca buku-buku tentang Minangkabau serta diskusi dengan beberapa tokoh Minangkabau di sekitar tempat tinggal saya, mendapatkan sesuatu yang menarik yang menurut saya layak untuk dibagi. Sinergi nilai-nilai Islam dengan budaya Minangkabau tidak terlepas dari gerakan pembaharuan dari kaum padri, yang salah satu tokohnya adalah Datuk Malim Basa atau terkenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Pada mulanya gerakan pembaharuan Islam dari kaum padri mendapatkan tentangan keras dari kaum adat, sehingga menimbulkan perang padri antara kaum padri dengan kaum adat yang dibantu Belanda. Namun pada akhirnya, dengan kesadaran untuk bekerja sama mengusir Belanda, mereka bersatu untuk melawan Belanda. Hal ini menyebabkan gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau lambat laun dapat diterima masyarakat.
Dalam melaksanakan gerakan pembaharuan Islam, kaum padri tidak lantas menghapus budaya-budaya dari suku Minangkabau dari generasi-generasi sebelumnya. Apa yang mereka lakukan adalah dengan menafsirkan nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai Islam secara bijaksana. Penafsiran ini menyebabkan nilai-nilai budaya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Contoh menafsirkan budaya Minangkabau dari sudut pandang Islam diantaranya adalah sebagai berikut :

Adat : Anak laki-laki harus meninggalkan rumah untuk mencari pengalaman dan mencari ilmu.
Islam : Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Islam menyerukan dan memotivasi umatnya untuk menuntut ilmu setinggi mungkin dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain.

Adat : Anak muda harus merantau untuk bertemu dengan banyak orang dan menggali kebijakan dan mencari masa depan yang lebih baik.
Islam : Mengembara dan merantau untuk mempelajari peradaban bangsa lain dianjurkan dalam Islam untuk meningkatkan Iman kepada Allah SWT.

Adat : Wanita itu menentukan sendiri dengan siapa dia akan menikah.
Islam : Wanita tidak boleh dipaksa dengan siapa dia akan menikah.

Adat : Bundo kanduang adalah pemimpin sekaligus pengambil kebijakan dalam rumah gadang.
Islam : Ibu berhak dihormati tiga kali lipat dari ayah.

Demikian luhur dan bijaksananya kaum padri untuk menafsirkan nilai-nilai budaya dalam pandangan Islam, sehingga bisa bersinergi secara harmonis, yang kemudian terkenal dengan "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Tulisan ini berasal dari berbagai sumber, saya menuliskan apa yang suddah ada karna saya rasa ini sangat bermamfat untuk saya dan para generasi muda pad umumnya. MAS'UD ABID, S.Pd

Jumat, 18 September 2015


Tambua Ranah Minang


            Terbuat dari potongan kayu bulat yang di lobangi, Tambua ini merupakan kesenian tradisional Minangkabau pada umumnya. Alat kesenian ini biasanya dipakai untuk melambangkan suka-cita dan biasa dipakai pada acara pesta pernikahan, penyambutan tamu-tamu istimewa atau dalam rangka acara "Batagak Gala Adat atau Batagak Gadang".


            Tambua atau Gendang ini biasanya berukuran panjang 60-70 Cm dengan diameter 40-50 Cm, dengan ketebalan lingkarannya 1-1,5 Cm. Pada kedua sisi nya diberi kulit kambing yang telah dikeringkan dan dikencangkan sedemikian rupa mengunakan tali yang ikatan nya pun dibuat menarik.

            Sebelum dipasang kulit kambing tersebut, Tambua terlebih dahulu di cat sedemikian rupa sesuai dengan ukiran khas minangkabau atau daerah Tambua itu berasal.


            Ukuran diameter Tambua sangat mempengaruhi bunyi yang dikeluarkan, semakin besar diameter nya semakin bagus bunyi yang dihasilkan. Namun sulit nya mendapatkan pohon kayu yang berukuran besar sehingga biasanya dalam satu grup Tambua ini, hanya beberapa buah saja yang besar dan sering disebut "Induak Tambua" atau Ibu Tambua.


           Untuk Daerah Maninjau sendiri, dalam satu grup tambua biasa nya memiliki jumlah yang ganjil, minimal 9 buah. Tambua dipukul secara serentak dengan irama dan gerakan yang teratur yang dikomandoi oleh sebuah alat kesenian bernama
 "Tansa". Berdasarkan irama Tansa ini lah alat kesenian Tambua ini ditabuh.

           Biasanya didalam menabuh Tambua ini terkadang juga diiringi oleh "Pupuik Batang Padi" dan alat kesenian "Talempong" sehingga kemeriahaan semakin kental terasa. 
         
           Khusus pada acara penyambutan Tamu istimewa disamping bunyi-bunyian alat kesenian diatas, biasanya ditambah lagu dengan "Silek Galombang". 

            Dalam kesenian Tambua ini juga dikenal lagu atau irama pukulan yang sudah lama ada sejak zaman dahulu yaitu Lagu Atam, Siamang Tagagau dan Mars Duo Baleh. Lagu atau irama Atam sendiri terdiri dari 2 irama yaitu :


1.       Atam Sikapak.
2.      Atam Pariaman.

            Selain dari irama-irama diatas, masih banyak lagi irama lainnya seperti : Sikapak Bayang, Panggang kakok, Tokok Balua dan banyak lagi.

            Di Kabupaten Agam sendiri, tambua dikenal luas diselingkaran Danau Maninjau seperti, Sigiran, Sungai Batang, Koto Kaciak, Koto Malintang dan lainnya. Untuk masing-masing daerah inipun memiliki ciri khas dalam menabuh Tambua ini.

            Dari Maninjau kesenian Tambua ini menyebar ke Lubuk Basung dan daerah lainnya. Sehingga tidak heran kalau kesenian Tambua ini sangat mudah di jumpai di Ranah Maninjau ini dibandingkan di daerah lain di Kabupaten Agam.


             Bahkan pada kejuaraan Tambua di Bandar lampung dan Bengkulu masyarakat yang berasal dari Ranah Maninjau inilah yang menjadi aktor dan pemenang nya.

            Untuk mengkaji secara mendalam anda bisa langsung mengunjungi Nagari Kami tercinta danau maninjau.  Karna yang saya tulis hanya sedikit penjelasan secara umum dan sangat singkat sekali. segala kekurangan saya mohon maaf semua yang saya tulis hanyalah bertujuan untuk mempertahankan Budaya kita yang sangat beragam dan berharga bagi kita.


Semoga bermamfaat buat saya dan anda semua terimakasih. Mas’ud Abid, S.Pd

Rabu, 16 September 2015

MENGGALI MUSIK TRADISI MINANG KABAU

TALEMPONG PACIK MINANGKABAU

 01-08- 2015
Oleh: MAS' UD ABID, S.Pd
I. Pendahuluan

Ungkapan “Basaluang jo barabab, batalempong jo basarunai, sarato bagandang basaliguri (bermain saluang dan bermain rebab, bermain talempong dan bermain sarunai, serta bermain gendang dengan saliguri)” merupakan pernyataan puitis etnik Minangkabau bahwa nenek-moyang dahulu telah mewariskan kekayaan musikal kepada generasi penerusnya.

Legalitas musik-musik tradisional Minangkabau diistilahkan dengan “bunyi-bunyian” yaitu menghormati sekalian bunyi-bunyian dalam konteks keramaian atau aneka upacara masyarakat. Jelas buah ungkapan di atas terdiri dari contoh-contoh seni primadona yang selalu berhubungan dengan konteks upacara yang ada dalam nagari.  Misalnya, kekayaan jenis musik tradisional Minangkabau dari berbagai alat musik melodis  terdapat pada: jenis alat tiup sarunai (Sarunai Darek, Sarunai Pasisia, Sarunai Sungai Pagu); jenis alat tiup saluang (Saluang Darek, Saluang Sirompak, Saluang Pauah, Saluang Sungai Pagu, Saluang Badoi); jenis rabab (Rabab Darek, Rabab Piaman, Rabab Pasisia, Rabab Badoi); jenis puput (Pupuik Gandang, Pupuik Baranak, Pupuik Lagundi); jenisSampelong, Bansi; dan jenis talempong (Talempong Pacik, Talempong Sikapak, Talempong Sitawa, Talempong Unggan, Talempong Gandang Aguang, Talempong Paninjauan); serta jenis Momongan, Gandang Tigo dan sebagainya.
Kemudian jenis musik tradisional Minangkabau yang bersifat perkusif-drum, seperti Gandang Tambua Piaman, Gandang Tambua Maninjau,  Dikia Rabano,Indang Piaman, Indang Solok, Indang Tuo, dan Indang Tagak, dll.
Begitu mengakar umbinya tradisi musik dalam aneka upacara adat Minangkabau sebagaimana bunyi ungkapan lama di atas, sehingga dipatrikan dalam Undang-undang nan sembilan pucuk: “tunduak kapado sakalian bunyi-bunyian (tunduk kepada sekalian bunyi-bunyian).”  Artinya segala bentuk penyajian musikal dalam suatu keramaian upacara-upacara adat mestilah dihormati eksistensinya sebagai media pemeriah suasana helat.
Ada genre seni tradisi yang hidup pada setiap nagari, dan terdapat pula genre seni tradisi yang hanya dimiliki secara berkelompok oleh beberapa nagari, serta berbilang pula genre seni tradisi yang dipunyai oleh satu nagari saja.  Walaupun begitu, melalui tangan-tangan seniman kreatif bahwa setiap genre seni tradisi itu memiliki peluang besar untuk menukar posisinya menjadi plural dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di era globalisasi ini.
Dewasa ini suasana kehidupan seni tradisional di nagarinagari Minangkabau sudah berada pada ambang mengkhawatirkan. Kenyataan tidak dapat lagi ditolak, bahwa telah terjadi kerapuhan dalam usaha pewarisan seni-seni tradisional di kampung-kampung. Para empu atau seniman tua sudah banyak berguguran, mayoritas generasi muda dengan segala gerak-gerik modernisnya sudah memaklumkan diri tidak berminat mewarisi seni-seni tradisional, bahkan menolak dan meremehkan kehadiran tradisi seni ini pada konteksnya.
Kondisi di atas diperumit lagi oleh  karena tidak tersedianya kurikulum seni di Sekolah Dasar yang murid-muridnya sangat berpotensi menjadi kader-kader terampil dalam mewarisi repertoar kesenian tradisional. Punahnya seni-seni tradisional yang sarat dengan nilai alam lingkungan akan bisa mendatangkan malapetaka terhadap perkembangan psikologis para anak muda nantinya yang setiap hari didesak oleh nilai-nilai seni dari Barat.
Dalam hal ini, Sieber mengatakan bahwa [sesuatu yang berkaitan dengan nilai budaya] ialah penghias kehidupan sebagai usaha memperindah atau melengkapi dalam arti baik, sopan, hakekat maupun dengan arti tertentu.
Dick (1984: 63) mempertegas bahwa kesenian ada sangkut pautnya dengan kegiatan dan aktivitas kita.  Kesenian mengajak kita untuk memasuki dunia dengan suatu sikap baru dan segar.  Maka dari itu, kesenian bukanlah sesuatu untuk segelintir orang saja, bukanlah suatu bidang di samping hidup kita sehari-hari.  Kesenian ada sangkut pautnya dengan seluruh pendidikan kita, dengan pembaharuan kebudayaan kita.  Kesenian melengkapi kepentingan dunia eksakta, melengkapi pendidikan orang-orang dewasa.  Maka dari itu kesenian yang sejati akan membimbing kita, agar dapat berbuat dengan tepat, memberikan arah kepada kegiatan kita, bahkan lebih dari itu kesenian bisa menjadi perekat ego-ego yang retak.
Menyesiasati faktor putusnya re-generasi pewaris seni tradisi juga sudah diingatkan oleh para orang tua dalam ungkapannya sebagai berikut:
“Anggun gayo labuah basimpang,
puncai hanyuik puntuang lah padam,
ka taruih colok lah padam,
ka pulang harilah malam,
ka mangaji surek lah hilang,
ka baraja guru lah mati.”
(Anggun gayo jalan bersimpang,
puncai hanyut puntung telah padam,
mau terus suluh telah padam,
mau pulang hari telah malam,
mau mengaji surat mengaji sudah hilang,
mau belajar guru sudah mati)
(Yunus, 1985: 49).
Permasalahan kita sekarang ialah bagaimana membangkitkan kembali vitalitas hidup seni tradisional sesuai dengan jiwa zaman kini dalam keterbatasan sikap budaya pendukungnya.  Dalam hal ini, tentulah harus dirancang strategi yang tepat untuk memberikan nafas baru agar wajah seni tradisional tetap terbayang oleh mata, dan terngiang oleh telinga.
II. Alam Minangkabau
Perkataan Alam Minangkabau dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara geografis dan  sosio-budaya. Pertama, ditinjau dari sudut geografis Alam Minangkabau terdiri atas daerah darek (darat pedalaman) dan pasisia (pesisir lautan). Daerah darek terletak di dataran tinggi Bukit Barisan yang meliputi daerah sekeliling Gunung Merapi, Gunung Sago, dan Gunung Singgalang. Sedangkan dataran rendah yang terletak menghadap ke arah pantai Samudera Indonesia disebut daerah pasisia yang memanjang pantai semenjak dari daerah Aia Bangih dekat Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara di bagian Utara, hingga daerah Aia Aji yang berbatasan dengan Kerinci, Propinsi Jambi di Selatan. Lokasi daerah di atas termasuk geografis pemerintahan kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh  Adytiawarman yang memiliki hubungan filosfis dengan kerajaan Majapahit.
Kedua, ditinjau dari sudut sosio-budayanya, Minangkabau merupakan salah satu etnik di Indonesia yang mendiami wilayah budaya bernama Alam Minangkabau. Secara filosofis terdapat pula dua istilah penting: 1) istilah luhak, yaitu daerah asal yang didiami oleh nenek moyang etnik Minangkabau dikenal dengan Luhak Nan Tiga yang meliputi Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluh Koto. Semua luhak ini terletak di lokasi geografis darekMinangkabau yang merupakan tempat asal perkembangan masyarakat Minangkabau dengan segala konsep sosio-budayanya. 2) istilah rantau, yaitu daerah baru sebagai tempat perantauan masyarakat, apabila ke luar dari daerah Luhak Nan Tiga untuk mencari wilayah penghidupan baru. Daerah perantauan berada di sekeliling Luhak Nan Tiga sampai ke wilayah pasisia (pesisir) Minangkabau tersebut, bahkan meliputi sebagian Propinsi Riau, sebagian Jambi, dan sebagian Kabupaten Tapanulis Elatan (Mandailing), Propinsi Sumatera Utara.  Di daerah rantau, Konsep kehidupan masyarakat di rantau tetap merujuk adat-istiadat yang berlaku di daerah luhak.
Dengan demikian, istilah darek dan pasisia merupakan dikotomi geografis Alam Minangkabau, sedangkan istilah luhak dan rantau lebih merujuk dikotomi terhadap pengertian filosofis dan sosio-budaya. Hal ini sangat berhubungan dengan masalah asal-usul nenek-moyang, adat-istiadat dan perkembangan sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan ungkapan: luhak berpenghulu, rantau beraja; maksudnya: struktur pemerintahan adat di daerah luhak diatur oleh para penghulu pemangku adat, bukan oleh raja Pagaruyung; sedangkan sistem pemerintahan adat di daerah rantau dijalankan oleh para raja-raja kecil yang dikoordinir oleh raja Alam dari Pagaruyung.
Akhirnya terdikotomi pula masyarakat yang mendiami Alam Minangkabau yaitu masyarakat luhak yang terkadang dianalogikan dengan Urang Darek (Orang Darat), dan masyarakat rantau yang sering juga disebut ‘Urang Pasisia (Orang Pesisir).’  Dua dikotomi masyarakat inilah yang mendukung jenis permainan dan jenis kesenian tradisional Minangkabau sesuai dengan kreativitas para nenek moyang masing-masing.
Secara garis besar masyarakat Minangkabau memiliki dua jenis kegemaran, yaitu permainan rakyat dan kesenian rakyat. Permainan rakyat meliputi bermain layang-layang, pacu sapi, pacu kuda, pacu itik, pacu sampan, dan lainnya. Kesenian rakyat terdiri atas aneka genrre seni, seperti pencak silat, randai, musik-musik tradisional (termasuk beragam ensambel talempong), dan tari-tarian rakyat, serta lainnya.
III. FENOMENA TALEMPONG PACIK
Perkataan ‘talempong’ bagi masyarakat Minangkabau mengandung dua pengertian:  1) talempong sebagai nama dari alat musik jenis gong berpencu, berukuran agak kecil dari bonang (small gong) yang terbuat dari bahan logam dan perunggu; 2) talempong sebagai nama dari suatu ensembel musik perkusi tradisional, yang terdiri dari beberapa jenis musik talempong, seperti talempong pacik, talempong rea, talempong jao, talempong sambilu, talempong kayu, talempong batuang, talempong sayak dan sebagainya.
Pada umumnya masyarakat Minangkabau sudah mengetahui bahwa salah satu cara memainkan alat musik talempong tradisional Minangkabau adalah dimainkan dengan cara dipacik (dipegang).
Sampai tahun 1970-an belum muncul pemakaian istilah pacik atau Talempong Pacik untuk menunjukkan nama ensambel talempong. Biasanya para musisi tradisi menyebut ensambel ini dengan perkataan talempong saja, atau mereka hanya menambahkan nama kampung atau nama nagari di belakang katatalempong sebagai tempat berdomisilinya kelompok ensambel talempong tersebut, seperti kelompok Talempong Ateh Guguak dari kampung Ateh Guguak; dan kelompok Talempong Selayo dari kampung Selayo. Sistem penamaan seperti itu berlaku pada seluruh kelompok ensambel Talempong di Minangkabau.
Istilah Talempong Pacik yang dikenal sekarang ini hanya merupakan perkataan yang bersifat umum yang dipakai untuk keperluan ilmiah.  Perkataan ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu genre musik tradisional talempong yang memiliki teknik permainan interlocking sehingga dapat membedakannya dengan konsep permainan genre musik talempong yang bersifat melodis yang dimainkan secara horizontal. Sungguhpun penggunaan istilah Talempong Pacikbermula untuk keperluan ilmiah, namun ternyata segi rasionalnya juga disadari oleh para musisi dewasa ini sehingga istilah Talempong Pacik sudah berkembang secara memasyarakat  dan diterima secara baik oleh semua lapisan masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, otomatis para musisi dunia juga tunduk dengan istilah tersebut.
Mengamati pengertian yang dikandungnya, ternyata istilah Talempong Pacik yang dipopulerkan ini cukup mempunyai landasan yang kuat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Istilah Talempong Pacik memiliki makna konseptual yang erat hubungannya dengan salah satu cara permainan dari genre musik talempong yang dimainkan dengan cara memegang alat musik talempong tersebut sebagai bagian alat musik utama dalam ensambel talempong tradisional.
  2. Istilah Talempong Pacik lebih mempertegas pengertian konsep musikal terhadap dua teknik permainan genre musik talempong yang hidup di Alam Minangkabau, yaitu genre musik talempong yang menggunakan teknik interlocking (Talempong Pacik), dan genre musik talempong yang dimainkan secara melodis (Talempong Duduak). Kedua genre musik talempong ini sama-sama hadir sebagai ensambel musik tradisional di berbagai pelosok Minangkabau.
  3. Istilah Talempong Pacik memberi pemahaman yang lebih jelas terhadap pengkajian dan penelitian aneka ragam musik talempong yang ada di Minangkabau, sehingga dapat melahirkan informasi ilmiah yang berangkat dari klasifikasinya yang khas sesuai dengan konsep musikal dari genre musiktalempong itu masing-masing.
Sehubungan dengan itu, akhirnya seniman-seniman yang berasal dari etnik lain pun ikut mengenal istilah Talempong Pacik. Perlu juga ditegaskan bahwa walaupun perkataan pacik (Bhs. Minangkabau) sama dengan pegang (bhs. Melayu/Indonesia), ternyata istilah Talempong Pegang tidak dipakai hingga sekarang.
Ensambel Talempong Pacik merupakan salah satu genre musik tradisional yang cukup merakyat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Setiap rumahgadang yang ratusan jumlahnya sudah lama mentradisikan permainan musik Talempong Pacik, bahkan setiap kampung (desa) juga memiliki beberapa kelompok Talempong Pacik. Artinya, ada perangkat talempong yang dimiliki secara adat oleh kaum, dan ada pula yang dipunyai oleh kelompok masyarakat yang terlepas dari ikatan kaum.
Pada setiap nagari musik itu pernah hidup dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Pada tahun 1950-an diperkirakan tiap nagari masih mempunyai lebih kurang tiga hingga empat kelompok talempong. Kawasan budaya Minangkabau yang berada di Propinsi Sumatera Barat saja berjumlah 543nagari. Seandainya pada setiap nagari terdapat tiga kelompok talempong pacik, berarti masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat memiliki 1629 kelompok musik tradisional ini. Sungguhpun kelompok-kelompok talempong tersebut berbeda-beda, namun prinsip-prinsip utamanya, baik konsep peralatan maupun konsep musikalnya, tidak memiliki perbedaan yang jauh.
Pada priode hingga tahun 60-an masih terngiang di telinga semaraknya alunan bunyi Talempong Pacik dalam suatu keramaian helat nagari. Dalam hal ini Yunus (1985: 24) menyatakan:
“Kalau alam alah takambang,
marawa tampak bakiba,
aguang tampak tasangkuik,
adaek badiri di nagari,
silek jo tari ka bungonyo.
Dima marawa tatagak,
di sinan aguang badundun,
dima cupak talatak,
di sinan talempong batalun.
(Kalau alam telah terkembang
marawa tampak berkibar,
gong tampak tersangkut,
adat berdiri di nagari,
silat dengan tari jadi bunganya.
Dimana marawa berdiri,
disana gong berdundun,
dimana cupak terletak,
disana talempong bertalun).”
Begitu juga masih terbayang di mata sekelompok anak muda bersama seniornya yang tua bermain Talempong Pacik di perempatan simpang empat pada setiap sore menjelang shalat maghrib datang melerai. Pada malam hari pun sering mengusik telinga tatkala tidur, sayup-sayup sampai bunyi talempong riuh-rendah dibawa angin yang terkadang nyaring, tetapi adakalanya menghilang dan timbul lagi yang seolah-olah membisikkan rumit dan indahnya tingkahtalempong; entah darimana datangnya tingkah bertalu tersebut.
Suasana diatas bak ungkapan orang tua jua yang disitir oleh Yunus (1988: 12) sebagai berikut: “ …. bunyinyo nan sayuik-sayuik sampai, adang tadanga adang indak, adang babunyi ateh langik, adang tadanga dalam tanah, adang di ateh awang-awang.  Hilang bunyi ganto kudo, lanyok bunyi katentong kabau, dek sipongang Talempong Pacik.  Digua gadih jolong gadang, abuaknyo panjang singgo pinggang, romannyo rancak hitam manih, gadih pamalu pamaliang pandang  ( …. bunyinya yang sayup-sayup sampai, terkadang terdengar kadangkala tidak, terkadang berbunyi atas langit, kadangkala terdengar dalam tanah, kadang-kadang di atas awang-awang.  Hilang bunyi genta kuda, lenyap bunyi katentong kerbau, disebabkan gema bunyi Talempong Pacik.  Di mainkan gadis mula remaja, rambutnya panjang sehingga pinggang, rupanya rancak hitam manis, gadis pemalu  melengongkan pandang).”
Permainan Talempong Pacik yang tingkah meningkah dalam konsep permainan teknik interlocking selalu menyemangati pesta yang berlangsung.  Semangat untuk para si pelaksana helat, dan hiburan bagi para panggilan kampung (undangan tradisional untuk masyarakat kampung) sehingga suasana helat atau upacara adat menjadi ceria dan gembira seiring dengan karakter bunyi yang dilahirkan oleh Talempong Pacik.  Dengan demikian, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa kehadiran permainan Talempong Pacik dibutuhkan sekali oleh suatu upacara adat Minangkabau berbentuk helat, baik helat itu bersifat kolektif dalam masyarakat nagari, suku atau kaum, maupun oleh keluarga.
IV. INSTRUMENTASI DAN ASPEK TEKNIS PERMAINAN TALEMPONG PACIK
Pada dasarnya permainan Talempong Pacik memerlukan suatu kerjasama yang kompak, karena bangunan komposisi musiknya saling terkait secara ketat dalam teknik interlocking. Unsur kerjasama Talempong Pacik ini merupakan cerminan perilaku kerjasama etnik Minangkabau yang berbudaya agraris.
Sehubungan dengan ini, mengamati aspek peralatan setiap kelompok Talempong Pacik pada berbagai nagari ternyata masing-masing kelompok talempong ini menggunakan tambahan jenis dan jumlah alat yang cukup bervariasi. Artinya, di samping setiap kelompok memiliki persamaan peralatan utamanyatalempong, ditemui pula beberapa perbedaan dari segi jenis dan jumlah alat musiknya. Dalam uraian ini tidak akan didiskusikan semua jenis alat musik yang menjadi instrumentasi dari beratus kelompok Talempong Pacik. Walaupun begitu, menurut prinsip ensambelnya, konsepsi dasar peralatan genre Talempong Pacik Minangkabau dapat dibagi atas empat fungsi musikalnya sebagai berikut:
1. Talempong
Alat musik utama terdiri dari enam hingga tujuh buah talempong yang berfungsi untuk membawakan lagu. Musisi Talempong Pacik Ateh Guguak menyebut lagu dengan istilah gua seperti “gua tujuah, gua Indang, gua tari piriang, gua barulak, dan gua pariangan.” Masing-masing gua tersebut dibangun atas tiga permainan yang dimulai secara bergiliran, yaitu talempong jantantalempong batino, dan talempong panyaua.
Setiap permainan dipraktikkan oleh satu orang musisi yang memegang dua buah alat musik talempong. Namun kadang-kadang musisi bagian talempong jantan hanya memainkan satu buah talempong, karena pemakaian jumlah alat musik talempong selalu disesuaikan dengan keperluan gua-gua yang dimainkan. Ketiga permainan talempong itulah yang dipraktikkan dengan teknik interlocking, melahirkan suatu komposisi musik spesifik Talempong Pacik yang termasuk salah satu musik tradisional primadona masyarakat Minangkabau.
Seperangkat Alat Musik Talempong Pacik
Teknik Memegang Talempong Pacik
2. Pupuik Gadang
Pupuik gadang adalah sebuah alat musik tiup yang terdiri dari dua bahan, yaitu batang padi sebagai bagian untuk ditiup, dan daun kelapa sebagai resonator.  Bagian yang ditiup namanya anak sarunai dan dimasukkan ke dalam rongga mulut- Corongnya terbuat dari daun kelapa menghadap arah ke depan. Tangan kiri memegang badan corong pupuik gadang, sedangkan empat buah jari tangan kanan (jari kelingking, jari manis, jari tengah dan jari telunjuk) diletakkan pada posisi arah dalam pada ujung corong. Jari-jari ini berfungsi memberikan gerak-gerak kecil untuk merespon hasil tiupan sehingga dapat membantu untuk memperjelas interval melodi pupuik gadang tersebut. Pupuik gadang berfungsi membawakan melodi yang bersifat improvisasi untuk merespon lagu yang dimainkan oleh talempong
Alat Tiup Pupuik Gadang
3. Tambua (Gendang)
Tambua merupakan jenis kendang yang berperanan membawakan ritme yang kebanyakan berbunyi bersamaan dengan ketukan dasar, termasuk berbagai variasi ritmis yang bisa diisi secara bebas. Ada juga kelompok yang menggantinya dengan sebuah gong. Kedua alat musik ini berperanan sebagai pengisi bunyi, tetapi ada juga kelompok Talempong Pacik yang tidak memakai kedua jenis alat perkusi tersebut.
Fungsi gendang dalam ensambel Talempong Pacik tidak selalu sama, perbedaan yang mengemuka pada umumnya dalam hal keterkaitan pola ritme gendang dengan pola ritme talempong. Beberapa kelompok Talempong Pacik menggunakan gendang hanya sebagai pengatur tempo dan memberi aksen dalam bentuk ritme konstan, sedangkan  pada kelompok yang lain menggunakan gendang dalam fungsi mempertegas hasil jalinan ritme (interlocking) permainantalempong.  Ada kecenderungan pola permainan gendang dalam fungsi ini menyimpulkan hasil jalinan ritme tiga bagian talempong dan secara bersamaan hadir di dalamnya (ritme talempong bersamaan dengan ritme gendang). Jadi, permainan ritme gendang sebagai mempertegas jalinan ritme talempongtermasuk pada ritme yang variatif, bertolak belakang dengan ritme konstan.
Alat Musik Perkusi Tambua
4. Rapa’i
Rapa’i adalah jenis kendang untuk membawakan ritme yang bersifat ostinato. Di samping itu, terdapat kelompok Talempong Pacik yang menggunakan sebuah kendang gandang katindik. Kendang ini juga membawakan ostinato untuk mengiringi lagu Talempong Pacik. Bahkan terdapat kelompok Talempong Pacik yang memakai sebuah kendang gandang pendek atau tabuk yang difungsikan sama dengan rapa’i di atas.
Selain itu, aspek peralatan yang cukup menarik terdapat pada kelompok-kelompok Talempong Pacik yang berada di kawasan sekeliling Danau Maninjau. Mereka menggabungkan permainan Talempong Pacik dengan permainan musik gandang tambua dan gandang katipik (jenis kendang yang lebih kecil ukurannya dibandingkan tambua), sehingga menghasilkan musik yang lebih semarak.
Jadi disimpulkan bahwa pemilihan peralatan musik yang digunakan oleh berbagai kelompok ensambel Talempong Pacik sangat berhubungan dengan aspek latar-belakang kehadiran setiap kelompok talempong tersebut dalam lingkungan yang diwarisi dari seniman musiknya yang lebih senior.
Misalnya komposisi peralatan ensambel Talempong Ateh Guguak berdasarkan tiga permainan talempong (talempong jantan, talempong batino, dan talempong panyaua), dan ditambah tiga permainan dari tambuarapa’i, dan pupuik gadang yang setiap permainan dibawakan oleh satu orang musisi.
Setiap pemain harus memahami hasil dari permainan bersama (saling menjalin atau interlocking) untuk memposisikan bagian yang dimainkannya dalam peranan mengembangkan komposisi, karena orientasi kelompok dalam memainkan setiap bagian pada akhirnya adalah hasil jalinan ritme, yaitu pola-pola melodi pendek yang selalu berkembang. Peranan utama menciptakan melodi dan pengembangannya ada pada bagian paningkah, pengembangan melodi selanjutnya dapat dilakukan oleh bagian batino dan bagian Jantan (disebut juga dasar).
Orientasi musikal inilah yang membedakan antara genre Talempong Pacik dan Talempong Duduak. Pada prinsipnya, Talempong Duduak mengutamakan ostinato melodis yang dilahirkan oleh bunyi talempong, sedangkan sejumlah alat musik lain yang berfungsi ritmik seperti gandang (double headed sylindrical drum), gong, dan lain-lain  hanya sebagai pengiring melodi talempong. Genre Talempong Pacik mengutamakan jalinan permainan ostinato ritmik menuju suatu hasil berupa melodi-melodi pendek yang selalu berkembang, diiringi oleh beberapa alat musik lain dalam fungsi ritmik seperti gandang dan rapa’i(single headed frame drum), dan alat musik pupuik gadang yang berfungsi melodis. Pupuik gadang yang memiliki banyak lidah (reed) juga dianggap tidak begitu penting dalam komposisi musik Talempong Pacik; fungsi musikalnya tidak berhubungan langsung dengan aspek interlocking; selain itu, para musisinya hingga kini juga sulit ditemui, kecuali para pemain pupuik gadang dengan kemampuan terbatas yang ada, itupun jarang dijumpai.
Repertoar Talempong Pacik relatif banyak ditinjau dari nama-nama lagunya, namun adakalanya ditemui kesamaan lagu antara suatu nagari dengan nagarisedangkan nama atau judul lagunya berbeda, sebaliknya, nama lagu sama tetapi komposisinya berbeda. Terjadinya  hal itu menyangkut juga dengan peranan seniman-seniman yang mewariskan tradisi musik tersebut sehingga generasi yang menerima warisan itu mengenal apa yang mereka terima. Adakalanya para seniman tidak mengenal nama lagu, mereka hanya mengetahui komposisi musiknya saja, tetapi karena suatu hal mereka harus memberi nama terhadap musiknya atas permintaan pihak tertentu dan terjadilah kesamaan nama dengan nama lagu yang telah ada di tempat lain.
Ada kecenderungan terjadinya perubahan dari satu lagu ke lagu yang lain pada sejumlah repertoar Talempong Pacik, kecendrungan perubahan yang terjadi itu ditentukan oleh bagian (unit) ritmik yang meletakkan pola ritme dasar, seperti pola ritme yang dibangun oleh permainan talempong jantan (disebut jugaanak) dan talempong batino (disebut juga pambaoan/palalu). Pola ritme yang dibangun oleh kedua bagian talempong itu pada akhirnya diselesaikan oleh permainan talempong paningkah menuju terbangunnya sebuah lagu berupa melodi-melodi pendek yang berulang. Pengembangan ostinato malodis cenderung disebabkan oleh variasi-variasi ritme, baik yang dimainkan oleh talempong paningkah maupun talempong batino.
Dengan demikian, peranan utama untuk membangun melodi terletak pada paningkah, sedangkan perubahan-perubahan ritme dari bagian-bagian tertentu menciptakan perubahan pada melodi. Perubahan tidak selalu pada gerak melodi tetapi juga terjadi akibat kehadiran hiasan-hiasan (ornamentasi) dari perantalempong jantan dan batino pada melodi yang telah ada. Perubahan yang diciptakan kedua bagian talempong ini pada umumnya mengarah pada pengayaan berupa hiasan-hiasan melodi yang telah dibangun paningkah. Namun demikian, adakalanya bagian jantan dan batino berperan juga dalam mengarahkan gerak melodi, walaupun kejadian ini tidak sering dijumpai. Jadi, ketiga bagian talempong mempunyai peran dalam membangun jalinan ritme yang menciptakan melodi-melodi pendek serta pengembangannya.
V. KONTEKS PENYAJIAN TALEMPONG PACIK
Mengamati keberadaan Talempong Ateh Guguak di tengah masyarakat pendukungnya, terdapat dua fungsi ensambel: sebagai hiburan pada beberapa konteks upacara adat, dan hiburan pada acara sosial masyarakat; serta  sebagai musik pengiring tari piring, tari sewah pada berbagai konteksnya.
Konteks upacara adat yang memerlukan penyajian Talempong Pacik ialah:
  1. Upacara Batagak Pangulu, yaitu upacara peresmian penghulu baru sebagai pengganti penghulu lama yang sudah meninggal. Kadang-kadang upacara ini dilaksanakan secara bersamaan oleh beberapa kaum (suku) yang ada pada suatu nagari. Pelaksanaan upacara Batagak Pangulu diadakan di lapangan terbuka.  Kehadiran penyajian Talempong Pacik dalam konteks upacara ini bukanlah sebagai bagian dari upacara, tetapi berperan sebagai hiburan untuk memeriahkan upacara, karena kesan musikal Talempong Pacik ialah membangun suasana ceria dan gembira.   Dalam konteks di atas perjalanan atau perarakan setiap rombongan penghulu baru yang datang dari rumah gadangnya masing-masing adalah diiringi dengan bunyi-bunyianTalempong Pacik sampai ke tempat pelaksanaan upacara; begitu juga suasananya ketika perjalanan pulang dari tempat upacara tersebut.
  2. Upacara Perarakan Panghulu Baru merupakan suatu kegiatan untuk memperkenalkan seorang penghulu baru kepada khalayak ramai dengan harapan bahwa gelarnya dipanggil oleh masyarakat karena dia telah didahulukan selangkah, dan ditinggikan seranting untuk memimpin masyarakat kaumnya sendiri.  Penghulu baru ini diarak pada ruas jalan utama di kampung dan ke pasar oleh beberapa orang pengikutnya yang mengenakan pakaian adat. Selama dalam perjalanan, kelompok prosesi ini dimeriahkan dengan bunyi-bunyian Talempong Pacik oleh musisi tradisional dari kaumnya sendiri.
  3. Upacara Helat Perkawinan ialah sebuah upacara yang sakral bernilai suci terhadap sepasang penganten yang telah bersetuju membangun rumah tangga mereka.  Penyajian bunyi-bunyian Talempong Pacik selalu dihadirkan pada setiap pelaksanaan upacara ini di rumah masing-masing para penganten.  Bahkan sekaligus ensambel musik trasional ini berfungsi untuk memeriahkan suasana perarakan pasangan penganten pergi ke rumah mertuanya.
Konteks acara sosial yang dimeriahkan dengan bunyi-bunyian Talempong Pacik ialah:
  1. Kegiatan Sabik-iriak (panen padi) yaitu suatu kegiatan memanen padi pada sawah milik salah seorang keluarga saparuik yang dikerjakan secara bersama-sama oleh kaum lelaki saja.  Pada waktu iring-iringan para pekerja berangkat dari rumah menuju sawah, maka di sini Talempong Pacikdimainkan.  Begitu juga pada saat istirahat bekerja kembali bunyi-bunyian Talempong Pacik memberikan suasana ceria dan gembira sebagai hiburan letihnya bekerja. Setelah selesai sabik-iriak (panen) maka kembali tingkah Talempong Pacik memberikan suasana ceria/gembira mengiringi  iring-iringan para pekerja mengangkut –memikul dengan bahu atau menjujung di atas kepala—. menuju rumah keluarga pemilik sawah.
  2. Kegiatan Gotong Royong Jalan Kampung. Biasanya setiap akan masuk bulan Ramadhan masyarakat kampung mengadakan kegiatan gotong royong membersihkan jalan kampung.  Tujuannya adalah agar lebih senang perjalanan masyarakat menuju rumah ibadah untuk bersembahyang tarwih, dan tadarus bersama.  Dalam konteks kerja gotong royong inilah Talempong  Pacik memberikan hiburan sebagai perintang lelahnya masyarakat bekerja.
  3. Kegiatan Gotong Royong Menggali Tali-bandar (pengairan sawah).  Biasanya setiap akan melakukan turun ke sawah, maka masyarakat kampung turun bergotong royong membersihkan tali bandar terlebih dahulu.  Tujuannya adalah agar pengairan sawah menjadi lancar sehingga pertumbuhan padi di sawah tidak terganggu.  Dalam konteks kerja gotong royong tali bandar ini, kehadiran bunyi-bunyian Talempong  Pacik juga memiliki nilai tambah terhadap motivasi bekerja masyarakat.
  4. Acara Penyambutan Tamu Nagari dan Memeriahkan Upacara 17 Agustus. Biasanya hampir semua kelompok Talempong Pacik ikut tampil memeriahkan kedua acara ini.
Selanjutnya konteks pertunjukan randai dan tari-tarian tradisional juga memerlukan keterlibatan Talempong Pacik, sebagaimana uraian berikut:
  1. Acara Pertunjukan Teater Tradisional Randai merupakan salah satu hiburan primadona oleh masyarakat Minangkabau di desa-desa (kampung). Pada sore hari sebelum malam pertunjukannya, selalu diawali terlbih dahulu dengan pemberitahuan kepada khalayak ramai.  Di sini para tokoh primadona randai diarak dengan mobil keliling kampung, di mana perarakan ini diiringi dengan Talempong Pacik; artinya dalam aktivitas ini Talempong Pacikberfungsi sebagai sarana pemberitahuan.  Begitu juga sewaktu para pemain randai berarak dari rumah tempat menukar kostum menuju lokasi tempat pertunjukan adalah juga diiringi dengan bunyi-bunyian Talempong Pacik.  Selanjutnya Talempong Pacik juga disajikan pada waktu istirahatnya permainan randai.
  2. Acara  Pertunjukan Tari-tari Tradisional pada berbagai konteksnya.  Tari-tari yang mesti bermitra dengan komposisi musik Talempong Pacik di antaranya tari piring, tari sewah, dan tari galombang.  Di sini bunyi-bunyian Talempong Pacik berperan sebagai background ritmis saja, karena tari-tarian tradisional ini hanya memerlukan dukungan rasa aksen dan suasana musikal dari ensambel Talempong Pacik; artinya motif-motif gerak tari tidak terikat secara penuh dengan  garapan motif-motif ritmis dan melodi dari bangunan komposisi musik Talempong Pacik tersebut.
VI. PENUTUP
Tulisan ini dapat berfungsi sebagai informasi aktual, dan bahan renungan, sekaligus menjadi resep dalam menyiasati konsep terhadap usaha pewarisan musik tradisional pada suasana zaman kini dan masa datang.  Mengaktualisasikan konsep-konsep seni tradisional Minangkabau yang bertebar di berbagai pelosoknagari merupakan lahan subur untuk menumbuh-kembangkan kembali kehidupan kesenian tradisional di nagari.
Dalam rangka memartabatkan kembali seni pertunjukan tradisional di Alam Minangkabau, maka usaha pengembangannya mestilah diletakkan pada rangka‘Paradigma Baru’ kesenian dunia yang global.  Walaupun begitu, “landasan berpijak sepenuhnya mengambil jati diri Minangkabau itu sendiri.”  di antaranya terkandung dalam tradisi seni pertunjukan yang pernah subur di nagari.
Penggunaan strategi kebudayaan akan bisa berhasil memberikan wajah baru yang sesungguhnya kepada identitas sendiri, bila jalan-jalan buntu diterobos.  Sistem pewarisan seni tradisional yang pasif harus ditinggalkan dan dikikis habis.  Di sini sifat strategi kebudayaan harus selalu dinamis dan terbuka, tetapi tidak terjerumus ke dalam strategi kesempitan.
DAFTAR PUSTAKA

A.A. Navis, 1986.  Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan  Kebudayaan
Minangkabau.  Jakarta: Grafitipers.
Boestanoel Arifin Adam 1986. “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”.

Dick Hartoko, 1984.  Manusia dan Seni. Yokyakarta:  Yayasan Kanisius.
Edi Sedyawati, 1981.  Pertumbuhan Seni Pertunjukan.  Jakarta: Sinar Harapan.
Haryati Soebadio.  1986.  “Kepribadian Budaya Bangsa” dalam buku
Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius).  Penyunting:
Ayatrohaedi.  Bandung:  Pustaka Jaya.

Mursal Esten,  1994.  “Arti Tradisi dalam Perkembangan Kebudayaan.” Pidato
Ilmiah.  Padang: IKIP.
Tsuyoshi Kato, 1992.  “Perubahan Sosial Minangkabau dalam Perspektif Per-
bandingan.” Makalah dalam Proseding Seminar ‘Perubahan
Sosial di Minangkabau.’ Editor: Mestika Zed, cs.  Padang:
Penulis MAS'UD ABID, S.Pd
Lulusan Sendratasik UNP Program Musik Tahun 2009. Lahir Di Koto Kaciak, 01 Agustus 1983, Bekerja Sebagai Guru Seni Budaya DI SMA Negero 1 Belitang.
SEMOGA BERMAMFAAT UNTUK SAYA DAN KITA.

Alat Musik Tradisional Sumatera Barat - "Pupuik Batang Padi"

Pupuik batang padi  merupakan alat musik tradisional yang berkembang di daerah Agam Sumatera Barat. Alat musik tradisional Pupuik batang padi ini memang terbuat dari ruas batang padi yang sudah tua dan berbuku. Proses pembuatan pupuik (puput) batang padi terhitung sederhana. Batang padi yang sudah tua dipecah secara hati-hati di dekat pangkal bukunya. Pecahan batang itu akan membentuk semacam pita suara yang menjadi sumber bunyi. Jika ditiup, pita suara itu akan mengeluarkan bunyi yang melengking.

Walaupun pupuik batang padi ini hanya terbuat dari batang padi, akan tetapi alat ini menjadi bagian dari hiburan rakyat yang menyemarakkan kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Alat musik tradisional Sumatera Barat ini kemudian dapat disambung dengan lilitan daun kelapa sehingga suara yang dihasilkan semakin melengking dan dapat didengar hingga jarak 2 kilometer.



Permainan musik tradisional pupuik batang padi ini juga di iring oleh musik Tambua dan talempong, disanalah akan terlihat kolaborasi musik yang sangat harmonis, , , dunsanak sadonyo bisa bisa merasakan damainya alam minang kabau disaat mendengarkan dan menikmati m usik ini,, musik ini biasanya akan kita jumpai pada saat penyelenggaran pernikahan atau barale kata orang minang kabau nya,, bisa juga kita jumpai pada saat penyambutan tamu,, sementara hanya ini yg bisa saya jabarkan secara singkat mudah - mudahan ada mamfaat,, ammin, 

Senin, 31 Agustus 2015

PANDANGAN ISLAM TERHADAP NYANYIAN

PANDANGAN ISLAM TERHADAP NYANYIAN

Bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang membolehkan..


Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi.Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-NabhaniNizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-JaziriKitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-SyuwaikiAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya OmarHukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik.http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasanal-QurthubiIbnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi,Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. BukhariShahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-SyaukaniIrsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain AbdullahAl-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-NabhaniAsy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-SyuwaikiAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-SyuwaikiAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah.Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-SyuwaikiAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Musliman-Nasa’iAbu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-SyuwaikiAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-SyuwaikiAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-JazairiHaramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya OmarHukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalamMuqaddimah ‘Ulumul HaditsImam an-Nawawi dalam Al-IrsyadImam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul HaditsImam Ibnu Hajar dalamTaghliqul Ta’liqas-Sakhawy dalam Fathul Mugitsash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah danImam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapatIbnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-AlbaniDha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-BaghdadiSeni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-NabhaniMuqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur RasulullahAmin. [M. Shiddiq al-Jawi] (www.faridm.com)
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Daftar Bacaan
* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/
* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/
* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/
* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/
* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/
* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).